Pohon Taru Menyan di Desa Trunyan dan Pemakaman Diatas Tanah

Pemakaman Trunyan

Desa Trunyan di Bali memiliki adat dimana orang meninggal tidak dikubur, dikremasi, atau dibakar di atas tumpukan kayu, tetapi hanya diletakkan di tanah dan dibiarkan membusuk.

Pemakaman Trunyan dapat diakses dengan perahu melintasi Danau Batur, berisi 11 kurungan bambu yang dibangun dalam bentuk prisma segitiga. Ketika seorang warga desa meninggal, jenazahnya dibungkus kain putih dengan kepala terbuka dimasukkan ke dalam salah satu kurungan tersebut. Saat kurungan sudah penuh, jenazah yang paling lama berada di sana dikeluarkan untuk memberi ruang bagi penghuni berikutnya.

Jenazah yang sudah menjadi tengkorak dibaringkan di atas tumpukan bersama tengkorak-tengkorak jenazah lain di bawah pohon besar Taru Menyan atau Trunyan. Pohon ini tidak hanya dekoratif, namun juga mengeluarkan aroma seperti dupa yang berhembus dari daunnya membantu menetralkan bau jenazah yang membusuk.

Pohon Trunyan (Taru Menyan)
Photo source: Theodora Sutcliffe/BBC

Orang Bali Aga, yang biasanya tinggal di desa-desa terpencil dan terisolasi terutama di timur laut Bali, adalah beberapa penduduk tertua di pulau Bali. Trunyan berasal dari setidaknya 911 Masehi. Seperti kebanyakan orang Bali, Bali Aga menganut ajaran Hindu Bali yang eksentrik, tetapi setiap desa, seperti desa Trunyan, juga memiliki ritual dan kepercayaan agamanya sendiri.

Desa Trunyan
Photo source: Theodora Sutcliffe/BBC

Sebenarnya ada dua pemakaman di Trunyan, yang satu ini diperuntukkan bagi mereka yang perjalanan hidupnya dianggap sudah lengkap.

Semua jenazah di pemakaman pohon trunyan telah menikah ketika mereka meninggal. Orang yang mati sebelum menikah, atau kecelakaan, dikebumikan seperti memakamkan orang pada umumnya.

Agama di Trunyan bahkan lebih kental dengan animisme dibanding kebanyakan Hindu Bali. Desa tersebut, yang didominasi oleh sebuah kuil agung yang 11 pagodanya mencerminkan 11 kurungan jenazah yang diletakkan diatas tanah. Lokasi itu di bawah Gunung Batur di tepi danau kawah yang berombak, lokasi ini cukup mencekam.

Angka 11 memiliki makna yang kaya dalam agama Hindu, jadi hanya ada 11 kurungan melengkung dari pohon palem dan bambu di pemakaman.

Pemakaman Trunyan
Photo source: Yusuf IJsseldijk

Semua sampah dan kotoran yang memenuhi area pemakaman, tulang belulang manusia yang dibuang begitu saja di samping sandal jepit kuno di tengah tumpukan piring kosong, tempat itu memiliki ketenangan yang aneh. Anehnya, tidak ada bau kematian. Jenazah dilindungi oleh payung cerah dan mengenakan pakaian favorit mereka semasih hidup.

Jenazah dengan pakaian yang disukai semasa hidup
Photo source: Theodora Sutcliffe/BBC

Jenazah hanya boleh dibawa ke pemakaman Trunyan pada hari-hari baik, dan keluarga harus mengumpulkan uang untuk pemakaman, beberapa jenazah tinggal di rumah selama berhari-hari atau berminggu-minggu sebelum dibawah ke pemakaman. Penduduk desa menggunakan formaldehida untuk menghentikan orang yang mereka cintai membusuk karena menunggu lama.

Tak hanya ritual pemakaman dan pohon ajaib yang membuat desa Trunyan tidak biasa. Seluruh masyarakat desa masih berkumpul untuk membuat keputusan komunal di bale agung. Dan setahun sekali, sekitar bulan Oktober, para pemuda mengenakan kostum rumit dari daun pisang dan mengacungkan cambuk rotan dalam tarian ritual yang disebut Brutuk. Tujuannya? Untuk menyucikan pura, sehingga menjaga keamanan desa dan penduduk desa.

Barong Brutuk
Photo source: Google Images

Tapi pemakaman itu, dengan ketenangannya yang aneh, yang mendefinisikan Trunyan. Dan di sana, dikelilingi oleh pengingat akan kefanaan yang kita semua alami dan kematian yang akan menimpa kita semua.
 


Komentar

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Anda tidak dapat menyalin konten di halaman ini.